Sejarah dan
akar budaya Skinhead sebenarnya di rintis jauh di luar Inggris, tepatnya di
Jamaika, sebuah negara pulau di laut Karibia. Satu hal yg sangat penting dan
perlu diketahui bahwa perkembangan budaya Skinhead tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan musik ska, dan budaya orang-orang kulit hitam di Jamaika pada
umumnya. Saat itu tgl 5 agustus 1962, saat Inggris memberi kemerdekaan pada
Jamaika setelah selama 300 tahun di jajah oleh negara Ratu Elizabeth 2 itu.
Berbarengan dengan perayaan kemerdekaan Jamaika itu
muncul sebuah jenis musik baru yg disebut Ska. Ska sendiri sebenarnya sudah
dirintis perkembangannya semenjak di era 50-an dulu, karena itu ada baiknya
kita flash back ke era itu. Tahun 50-an adalah masa di mulainya era musik
modern Jamaika, era itu di mulai dengan sebuah budaya yang sangat unik dan
hanya ada di Jamaika sampai saat ini, yaitu era Sound System. Di namakan era
sound system karena satu-satu nya jalan bagi kalangan kelas bawah yang merupakan
mayoritas di sana untuk mendengarkan musik saat itu adalah melalui sound
system. Caranya adalah dengan memutar piringan hitam musik Jazz, Motown Soul
dan RnB Amerika di seperangkat alat pemutar piringan hitam dan untuk pengeras
suaranya dipakai seperangkat pengeras suara / sound system. Biasanya hal itu di
lakukan di pesta-pesta yang di gelar di jalanan, jadi benar-benar musik jalanan
untuk kaum bawah yang haus hiburan tapi tidak bisa datang ke klub-klub malam
yang mahal dan mewah atau pergi liburan ke tempat-tempat wisata seperti Miami,
pokoknya benar-benar lower class entertainment.
Tetapi bukan
berarti permintaan akan LIVE musik tidak ada.Pada mulanya para musisi Jamaika
hanya memainkan lagu-lagu Jazz dan RnB seperti Fat Domino, Louis Jordan dan Ray
Charles, sampai akhirya mereka merasa perlu untuk membuat lagu sendiri dengan
cara meniru gaya bermusik artis RnB di Amerika, terutama gaya bermusik Boogie
Rock ala New Orleans. Namun Pada kenyataannya para musisi seperti Laurel Aitken
dan Skatalites gagal meniru gaya yang seperti itu, yang terjadi adalah mereka
malah menciptakan gaya musik baru yg merupakan penggabungan dari musik Jazz dan
RnB Amerika dengan musik traditional Jamaika yaitu Calypso dan Mento, dan
hasilnya adalah sebuah formulasi musik yg di kenal sebagai ska. Era ska
berlangsung dari tahun 1962 sampai tahun 1966 saat ska berubah tempo-nya
menjadi sedikit lebih lambat dan nge-Soul, tempo dan gaya ini di sebut
Rocksteady, nah…. Rocksteady inilah yg kemudian berevolusi lagi menjadi musik
yg saat ini di kenal dunia sebagai Reggae.
Satu hal yg
sangat penting dari era ska di Jamaika yg erat hubunganya dgn sejarah budaya
Skinhead adalah kemunculan para Rude boy. Para Rudeboy ini adalah anak-anak
muda yg terpikat dgn segala janji-janji muluk tentang kemakmuran setelah
kemerdekaan Jamaika. Mereka berurbanisasi secara besar-besaran dari kota-kota
seperti Negril dan Port Royal ke Kingston town, ibu kota Jamaika dgn harapan
bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Namun akibat dari skill dan pendidikan
mereka yg rendah serta langkanya lapangan pekerjaan di Kingston membuat mereka
menjadi pengangguran dan akhirnya terpaksa bertahan hidup dgn menjadi preman
jalanan, sebagian besar bahkan terlibat dalam kejahatan terorganisasi. Mereka
terpaksa tinggal di daerah-daerah kumuh seperti Orange Street dan Trench Town
yang sarat dgn permasalahan sosial seperti perdagangan ganja dan perkelahian
antar gank.
Kehidupan keras
inilah yg membuat mereka menjadi kasar dan tangguh (rough & tough), serta
terbiasa dgn kekerasan dan kejahatan, dari sinilah muncul istilah “Rude boy” yg
kira-kira artinya adalah “Preman Jalanan”. Rude boy itu tangguh seperti seekor
singa dan kuat seperti baja, begitulah katanya Derrick Morgan dalam lagu
Rougher than Rough….., mereka berkeliaran di jalan-jalan kota Kingston dengan
pistol ataupun belati di balik setelan jasnya. Pandangan akan preman jalanan
dan penjahat inilah yang menjadikan mereka sebagai kaum yg di tolak
keberadaannya oleh masyarakat. Rude boy inilah para fans musik ska saat itu,
hal ini mungkin di karenakan ska yg musisinya berasal dari ghetto (daerah
kumuh) sama seperti mereka, sehingga ska identik dgn pemberontakan dan di beri
label musik kelas bawah. Hal lain yang sangat menonjol dari para Rude boy ini
adalah gaya mereka yg cool, cara berpakaian mereka yg necis, rapih dan elegan.
Setiap uang yang mereka hasilkan pastilah di habiskan untuk membeli setelan
jas, sepasang sepatu kulit warna hitam yang di semir mengkilat, topi pork pie
dan kaca mata hitam, benar-benar sebuah anti tesis terhadap latar belakang
mereka yang berasal dari kelas bawah yang miskin.
Tahun 1966
berbarengan dgn berubahnya ska menjadi rocksteady dan keadaan ekonomi Jamaika
yang semakin terpuruk, kekerasan dan kejahatan yg di lakukan para Rude boy
semakin menjadi-jadi, hal ini semakin di perparah dgn adanya campur tangan dari
para politisi yg memakai mereka sebagai body guard untuk menjalankan
kepentingan politiknya. Akibatnya pertarungan antar gank Rude boy semakin
sering terjadi, masing-masing mati-matian membela teritorial dan kepentingan
politik tuannya, korbanpun berjatuhan, Kingston pun menjadi medan perang. Opini
publik pun langsung menghakimi para Rude boy dan meyerukan pelucutan senjata
dan penangkapan para Rude boy secara besar-besaran. Akibatnya tak sedikit dari
mereka yang di jebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan yang benar, dan
yang lebih menyakitkan para politisi yang mereka bela sama sekali tidak membela
mereka, bahkan malah memojokkan mereka, Politik dan segala tipu dayanya memang
tak ada untungnya bagi budaya apapun. Para musisi ska yang mempunyai hubungan
erat dgn para Rude boy segera merespon hal ini, mereka menciptakan lagu-lagu
yang membela para Rude boy, namun sekaligus melakukan penyadaran terhadap
mereka melalui lirik lagu mereka seperti 007 shanty town ( Desmond Dekker), Too
hot (Prince Buster), Rougher than rough (Derrick morgan), Cry though ( Alton
ellis), serta yg paling legendaris Rudy, a message to you (Dandy livingstone)
yang kelak di populerkan kembali oleh The Specials.
Keadaan Jamaika
yang semakin morat marit membuat sebagian penduduknya berimigrasi ke Inggris,
tentunya dgn harapan akan penghidupan yang lebih layak. Para imigran inilah
yang membawa budaya kulit hitam Jamaika terutama musik Ska/ Rocksteady/Reggae
ke negeri berbendera Union Jack tersebut. Di antara mereka bahkan ada beberapa
musisi kenamaan Jamaika seperti Laurel Aitken yang kelak di sebut-sebut sebagai
The God Father of Ska dan Rico Rodrigues seorang pemain trombone yang pernah
bergabung dgn band ska pertama di dunia The Skatalites, dan tentunya beberapa
Rude boy pun ikut dalam gelombang imigrasi ini, di sinilah mereka bertemu dgn
budaya anak muda kulit putih Inggris yg menamakan dirinya Mods….
Anak-anak muda
yang menamakan diri mereka Mods muncul di Inggris untuk pertama kalinya di
akhir tahun 50-an. Nama budaya mereka yang merupakan singkatan dari
“modernisme” di ambil dari penolakan mereka atas Tradisional Jazz yang melanda
Inggris beberapa saat sebelum era The Beatles. Mods pada awalnya adalah fans
berat musik Modern Jazz seperti Dave Bruebeck, hal itu tidaklah berlangsung
lama sampai akhirnya mereka jatuh cinta pada Black music dari Amerika seperti
Northern Soul, RnB, dan tentunya musik Ska Jamaika. Budaya ini juga di kenal
sebagai pihak yg membidani lahirnya “Garage band” yang paling berpengaruh di
abad 20, yaitu The Who dan The Small Faces. Seperti halnya budaya anak muda
lainnya Mods pun mempunyai cara berpakaian tersendiri, malahan hal itu adalah
hal yang terpenting bagi mereka.
Layaknya para
Rude boy di Jamaika, para Mods ini berpakaian sangat rapih dan necis, setelan
jas buatan Italia, sepasang sepatu brogues, parka (semacam mantel untuk
berkendaraan) dan yang terpenting dari semuanya, Scooter (biasanya bermerek
Lambretta). Mereka biasanya nongkrong di kafe-kafe atau coffee shop seputaran
London, tentunya sambil mendengarkan Soul, RnB, dan Ska. Satu hal yang paling
penting di ingat di sini bahwa Mods sangat-sangat mengejar Fesyen terutama
merek-merek tertentu seperti kemeja Jaytex, hal itu karena ide dasar dari Mods
adalah bagaimana caranya untuk terlihat lebih cool dan bergaya ketimbang
orang-orang normal, bergaya seperti seorang pekerja mapan walaupun kenyataanya
mereka masih sekolah. Pada awalnya anak-anak muda yang mengadopsi Mods sebagai
identitas diri sangatlah sedikit, tapi memasuki tahun 1962 budaya ini semakin
banyak pengikutnya, walaupun belum sampai pada taraf trend atau mewabah.
Tapi di balik
penampilan mereka yang cenderung terlihat seperti kelas menengah, sebenarnya
Mods adalah murni budaya kelas pekerja. Hal yang membuat para Mods
berpenampilan seperti itu adalah karena budaya mereka sebenarnya merupakan
sebuah kontra budaya terhadap Teddy Boys/ greasers/rockers yang muncul beberapa
dekade sebelumnya. Semua hal dari pakaian, musik yang di dengarkan, kendaraan
sampai cara berpikir Mods adalah kebalikan 180 derajat dari para rockers. Mods
tampak necis dgn setelan jas buatan italianya, sedangkan Rockers tampil gahar
dgn celana kulit dan jaket kulitnya, Mods mendengarkan Soul, RnB dan Ska, sedangkan
Rockers mendengarkan Rock N’ Roll, Mods berkeliaran di jalan-jalan dgn scooter
Lambrettanya, sedangkan Rockers dgn motor Harley Davidsonnya, dan masih
segudang hal bertentangan lainnya. Pertentangan ini membuat mereka membenci
satu sama lain, tak jarang hal itu mengakibatkan perkelahian di antara mereka,
yang paling legendaris adalah perkelahian di Bank Holiday (semacam liburan
musim panas) di tepi pantai Brighton tahun 1964.
Hal itulah yang
membentuk opini publik yang buruk terhadap mereka, layaknya Rude boy di
Jamaika, Mods di anggap sebagai berandalan, kaum yang di tolak keberadaanya
oleh masyarakat. Semenjak paska PD II telah terjadi imigrasi penduduk Jamaika
ke Inggris, hal ini terjadi gelombang demi gelombang dan mencapai puncaknya
antara tahun 1964 – 1966. Para imigran kulit hitam ini tinggal di daerah-daerah
tempat kelas pekerja Inggris tinggal, di sinilah terjadi interaksi budaya
antara Mods dan anak2 muda imigran Jamaika. Fenomena Rude Boy yang terjadi di
Jamaika ternyata dgn cepat menyebar di antara anak-anak muda imigran Jamaika
kelahiran Inggris, di tambah datangnya beberapa orang Rude boy “asli” kingston
di lingkungan mereka. Dengan cepat mereka mengadopsi cara berpakaian Rude boy
di Kingston dan mendengarkan musik yang saat itu sedang hits di Jamaika seperti
Prince Buster dan Alton Ellis.
Gaya Rude boy
ini segera saja mewabah pula di kalangan Mods, ketertarikan mereka terhadap
musik Jamaika yang sudah ada semenjak awal perkembangan budaya ini pun menjadi
semakin besar, bahkan Pork Pie Hat ala Prince Buster pun menjadi asesoris
wajib. Ska tiba-tiba saja menjadi musik utama para Mods, kepopuleran Prince
Buster di kalangan Mods tiba-tiba saja mengalahkan artis-artis motown seperti
Martha Reeves and The Vandelas ataupun Marvin Gaye. Dan yang terpenting kini
mereka punya sekutu baru dalam melawan Rockers, para anak muda imigran kulit
hitam asal Jamaika, ya…. Para “UK based Rude boy”. Di tahun 1967 budaya Mods
semakin mewabah di Inggris, sampai-sampai lagu Prince Buster berjudul “Al
Capone” mencapai nomor 18 di tangga lagu nasional Inggris, padahal hanya para
Mods lah yang mendengarkannya.
Mewabahnya Mods
membuat budaya ini mulai kehilangan esensi dan pemikiran dasarnya. Mods yang
pada awalnya adalah murni budaya kelas pekerja kini mulai tercemar dgn masuknya
anak-anak kelas menengah bahkan kelas atas yang sebenarnya hanya tertarik dgn
fesyen Mods tanpa tahu dasar pemikiran budaya ini. Tiba-tiba saja Mods hanyalah
tentang pakaian bagus dan mahal, bahkan seorang Mods yang tidak berpakaian
seperti itu pasti akan di tertawakan dan tak akan di terima oleh Mods lainnya.
Hal ini tentu saja tak masalah bagi mereka anak-anak kelas menengah yang orang
tuanya kaya raya, tapi masalah besar bagi anak-anak kelas pekerja, bayangkan…..
uang saku mereka hanyalah 10 pound perminggu, sedangkan harga pakaian yang “ di
anggap” sebagai pakaian Mods yang benar saat itu adalah 15 pound….!!!
Pada akhirnya
apapun di dunia ini adalah tentang kelas, hal itu pulalah yang terjadi pada
Mods. Pembagianpun segera terjadi, Mods kelas menengah di satu sisi, dan Mods
kelas pekerja di sisi lainnya. Para Mods kelas pekerja ini menolak cara
berpakaian mewah ala para Mods kelas menengah, terlebih lagi di antara
anak-anak kelas menengah itu mulai berjangkit pola pikir “generasi Bunga / hippies”.
Mods kelas pekerja ini tiba-tiba saja menjadi kontra budaya terhadap “Mods
kelas menengah. Cara berpakaian mereka berubah menjadi lebih “Hard”. Setelan
jas buatan Italia di gantikan dgn kemeja Ben Sherman, jaket Denim dan celana
jeans Levi’s 501, dan yang cukup ekstrim : rambut klimis mereka di cukur
semakin pendek (hampir botak) dan sepatu kulit yang mewah dan mengkilat di
gantikan dengan Boots yang biasa di pakai pekerja industri logam atau pekerja
tambang.
Cara berpikir
dan tingkah laku mereka pun semakin jauh berbeda dgn “Mods tradisional”,
anak-anak kelas pekerja ini lebih agresif, lebih suka melakukan kekerasan dan
lebih provokatif terhadap musuhnya para Rockers, karenanya mereka mendapatkan
julukan baru : Hard Mods. Pada akhir tahun 1968 para Mods Tradisional yang
kebanyakan adalah anak kelas menengah masuk ke kuliah-kuliah seni, sebuah hal
yang mustahil di dapat para Hard Mods. Hari-hari di kampus kuliah seni inilah
yang membuat para Tradisional Mods ini akrab dgn Pop Art, musik Rock Kontemporer
ala The Cream, dan yang paling esensial Pola Pikir Hippie yang semakin melekat
di otak mereka dari hari ke hari, ya…. Mods kelas menengah berevolusi menjadi
Hippies, dan menyerahkan jalan2 kosong di se-antero Inggris kepada sekelompok
anak muda tangguh yang kelak di namakan Skinhead.
Pada dasarnya Skinhead adalah gelombang baru dari
budaya Mods yang sudah berkembang beberapa tahun sebelumnya. Pada awalnya
mereka di sebut sebagai Hard Mods, sebuah sebutan yang mengacu pada dandanan,
tingkah laku dan pola pikir mereka yang lebih keras dari pada Tradisional Mods.
Para Skinhead ini lebih terkesan berandalan dari para pendahulunya, mereka
lebih sering melakukan kekerasan, sebuah prilaku alami dari anak-anak kelas
pekerja yang tak puas dengan kenyataan hidupnya. Satu hal yang perlu di ingat
di sini bahwa sebenarnya kemunculan para Skinhead ini adalah sebuah penolakan
terhadap cara berpikir Mods yang saat itu mulai kehilangan esensinya (Sebagian
besar para Mods saat itu menjadi Hippies).
Mereka adalah orang-orang yang menolak cara berpakaian
Tradisional Mods yang saat itu sangatlah mahal dan tidak bisa di beli oleh
anak-anak kelas pekerja seperti mereka. Namun layaknya Mods, Skinhead pun
sangat menghormati cara berpakaian yang necis dan rapih. Bedanya dengan Mods
ide dasar dari fesyen Skinhead adalah bagaimana caranya agar terlihat rapih,
necis, elegan, namun pada saat yang sama juga terlihat keras, gahar, dan
berandalan. Hasilnya adalah sebuah dandanan yang benar-benar berbeda dengan
para Mods, setelan jas mahal di tinggalkan, sebagai gantinya mereka memilih
kaus kerah Fred Perry, kemeja Ben Sherman, Levi’s Staprest ataupun Levi’s Jeans
501, sebagai pelengkap adalah bretel untuk menahan celana agar tetap berada di
atas pinggul, lalu jaket Harrington, jaket jeans atau Crombie (sejenis jas
panjang).
Sepatu dansa di gantikan dengan Industrial Boots,
sebelum akhirnya Boots bermerk Dr Martens keluar di pasaran, dan menjadi
pilihan yang lebih populer. Potongan rambut pun semakin hari di cukur semakin
pendek, dalam beberapa kasus bahkan hampir botak sehingga orang-orang bisa
melihat kulit kepala mereka di sela-sela rambut mereka yang sangat pendek, dari
sinilah muncul sebutan ‘Skinhead’. Begitu pula dengan para wanitanya, potongan
rambut merekapun sangatlah pendek, sebutan bagi potongan rambut seperti ini
adalah Feather cut (sangat pendek pada bagian atasnya namun di biarkan tetap
panjang pada bagian samping dan biasanya berponi pada bagian depannnya).
Sebagai kendaraan Scooter tetaplah populer layaknya di kalangan Tradisional
Mods, namun kini hal itu bukanlah lagi sebuah keharusan, bagi Skinhead scooter
hanyalah sebagai kendaraan untuk bepergian bukan sebuah benda untuk di pamerkan
pada teman-teman mereka, seperti di kalangan Mods, (jadi, punya bagus, tidak
punya ya tidak apa-apa).
Pakaian-pakaian itu menjadi pilihan mereka karena
semua barang tersebut harganya murah dan terjangkau oleh kantong anak-anak
kelas pekerja saat itu. Hal lain yang menjadi alasan pemilihan pakaian tersebut
adalah karena semua pakaian itu lebih cocok sebagai “seragam dinas perkelahian
di jalanan” ketimbang setelan jas ala Tradisional Mods, walaupun sepatu dansa
dan setelan jas tetap di pakai dalam beberapa kesempatan. Layaknya Rude boy di
Jamaika, kekerasan pun adalah hal yang sangat identik dengan budaya Skinhead.
Perkelahian jugalah yang menjadi alasan kenapa Boots menjadi pilihan, terutama
yang di lapisi baja pada ujungnya (Steel Toe), sehingga bisa di jadikan senjata
untuk mencederai lawan. Begitu jugalah alasan kenapa potongan rambut “hampir botak”
menjadi pilihan mereka, yaitu agar rambut itu tak bisa di jambak saat bekelahi
dengan musuh, dan di era itu biasanya para laki-laki memelihara cambang, itu
jugalah yang di lakukan para Skinhead ini.
Perkelahian inilah yang membuat reputasi mereka buruk
di kalangan masyarakat umum, Skinhead adalah berandalan jalanan yang di tolak
keberadaannya oleh masyarakat. Pada akhir tahun 1968 jumlah para Hard Mods
semakin banyak, seiring semakin banyaknya anak-anak muda kelas pekerja yang
menolak pola pikir Mods tradisional. Gank-gank Hard Mods pun bermunculan di
kota-kota seperti London, Birmingham, Liverpool, New Castle dan Glasgow ( Gang
nya yang bernama Glasgow Spy Kids sangat terkenal hingga hari ini akan reputasi
kekerasannya ). Pada awalnya sebutan bagi mereka berbeda-beda di setiap kota,
yang paling umum adalah Clean Heads, Shave Heads, Spy kids dan Peanuts (mengacu
pada bunyi scooter yang di kendarai mereka). Di tahun 1969 penolakan terhadap
budaya Mods kelas menengah yang saat itu sudah tercemar pola pikir generasi
bungapun semakin menjadi-jadi, pemisahan antara tradisional Mods yang telah
berevolusi jadi Hippies dan Hard Mods / Skinhead pun tak terhindarkan lagi.
Para Hippies yang rata-rata kelas menengah inilah yang
menjadi musuh utama para Skinhead. Perkelahian yang berujung pada kekerasan ini
terjadi di setiap kesempatan mereka bertemu, namun yang paling besar terjadi di
Bank Holiday tahun 1968 dan 1969, di sinilah Skinhead menjadi perhatian media
untuk pertama kalinya. Satu hal lagi yang membentuk budaya Skinhead adalah
kerusuhan yang terjadi di teras sepak bola. Inggris memang adalah sebuah negara
dengan budaya sepak bola yang kuat mengakar. Semenjak kemenangan Inggris di
Piala Dunia tahun 1966 sepak bola menjadi semakin menarik perhatian anak-anak muda
Inggris saat itu. Tradisi menonton sepak bola di akhir pekan bersama para Ayah
sedikit demi sedikit mulai menghilang, seiring dengan pekerjaan paruh waktu
yang banyak di lakukan anak-anak kelas pekerja saat itu yang membuat mereka
mempunyai uang sendiri untuk membeli tiket masuk ke petandingan sepak bola.
Kekerasan dan Hooliganisme memang sudah membudaya di dunia persepak bolaan
Inggris selama berabad-abad sebelumnya, namun memasuki era 60-an hal itu
semakin terorganisasi.
Para hooligans ini kebanyakan adalah para Hard Mods
yang tampil gahar dengan jeans dan sepatu boots seperti yang di paparkan di
atas. Hooliganisme terorganisasi atau lebih di kenal dengan sebutan ‘Firm/Mobs’
ini semakin mewabah di musim kompetisi 1968 – 1969. Saat itu hampir semua tim wilayah
selatan dan utara Inggris mempunyai gank hooligan yang semua anggotanya adalah
Skinhead. Mereka biasanya membuat kerusuhan tak hanya di luar lapangan, tapi
juga di dalam lapangan, berkelahi dengan suporter lawan dan tentunya dengan
polisi. Dalam waktu singkat media seperti The Sunday Mirror, Suns dan The
Football mail mengasosiasikan Skinhead dengan kerusuhan tersebut. Pada awalnya
berita tersebut biasa-biasa saja namun lama kelamaan pemberitaan itu semakin
berlebihan dan berat sebelah, menempatkan Skinhead sebagai terdakwa tunggal
bahkan jika kerusuhan tersebut bukan terjadi karena ulah mereka.
Perkelahian dan kerusuhan terjadi hampir di tiap
pertandingan, terutama di wilayah utara di mana sepak bola dan budaya Gank
suporternya lebih populer ketimbang berdansa di club malam seperti di selatan
Inggris. Perkelahian yang semakin sering terjadi membuat para Skinhead merasa
perlu untuk mempersenjatai diri. Boots kini di rasa tak lagi cukup, kini mereka
mempersenjatai diri dengan pisau belati atau pisau lipat yang biasa di gunakan
untuk mencukur rambut (Razor). Senjata tersebut bahkan kemudian di gunakan
dalam perkelahian melawan Hippes, Rockers, Greaser, dan Hell Angels.
Skinhead kini semakin identik dengan kenakalan remaja
bahkan kekerasan dan kejahatan serius, hal itu membuat mereka di waspadai
keberedaanya oleh masyarakat terutama polisi. Berkelahi di jalanan, membuat
rusuh di teras sepak bola, memukuli Hippies, (bahkan) Mods di Bank Holiday, ya…
budaya baru ini benar-benar identik dengan kekerasan. Tapi ada saat di mana
mereka meninggalkan Ya…..!!! Hal berikutnya yang membentuk budaya Skinhead yang
berasal dari budaya Mods dan akan di pegang teguh oleh para Skinhead sampai
kapanpun adalah kecintaan mereka kepada musik kulit hitam sperti RnB, Soul
(keluaran Tamla, Stax dan Motown ) dan musik Ska / Reggae asal Jamaika.
Yang membedakan Skinhead dengan Mods dalam hal musik
yang di dengarkan adalah: Mods memang sangat menyukai Soul dan Ska (mereka
menyebutnya Bluebeat, nama label yang merilis Prince Buster di Inggris ), namun
hasrat utama mereka adalah lagu-lagu dari The Who dan The Small Faces,
sedangkan Skinhead lebih suka mendengarkan musik Jamaika yang saat itu telah berevolusi
menjadi Reggae, ya….Skinhead sangat identik dengan musik Reggae. Kenapa para
Skinhead mengadopsi Reggae sebagai musiknya telah banyak di perdebatkan saat
ini. Teori pertama adalah hal itu di sebabkan oleh para Skinhead ini tinggal
bertetangga dengan para imigran Jamaika sehingga ada interaksi budaya di antara
mereka, salah satunya adalah musik Reggae. Hal tersebut menyebabkan para
Skinhead ini terpengaruh oleh budaya dan penampilan Rudeboy di Jamaika,
termasuk celana yang di perpendek atau di gulung di atas mata kaki untuk
memperlihatkan Boots 8 atau 10 lubang yang saat itu populer di kalangan para
Skinhead.
‘Baik Mods dan kemudian Skinhead sangat mencintai dan
terinspirasi oleh budaya Rude boy Jamaika, dan menggabungkannya dengan budaya
kelas pekerja Inggris untuk membentuk sebuah budaya baru yaitu budaya
Skinhead’. Teori kedua adalah hal ini di sebabkan oleh warisan dari budaya Mods
dan terlebih lagi karena kepopuleran Ska yang semakin meningkat semenjak lagu
My Boy Lollypop (Millie Small) bertengger di posisi nomor 1 di tangga lagu
nasional Inggris pada tahun 1964. Teori ke tiga adalah hal ini di sebabkan oleh
harga piringan hitam Reggae yang saat itu murah, sehingga mudah bagi para
Skinhead untuk mendapatkannya.
Namun teori yang paling banyak di setujui adalah:
pengadopsian Reggae sebagai musik Skinhead saat itu di sebabkan oleh penolakan
mereka terhadap musik Progresif Rock ala band-band Woodstock seperti The Cream
dan Jimmy Hendrix yang di sukai oleh para Hippies, ya…. Skinhead adalah sebuah
budaya penolakan terhadap budaya Hippies yang cenderung kelas menengah. Namun
apapun alasannya, pada saat The Pioneers merilis Longshot Kick The Bucket dan
mencapai sukses di bulan oktober 1969, lalu di susul dengan lagu Desmond Dekker
yang bejudul Israelites yang meraih posisi pucak pada akhir tahun 1969,
Skinhead dan Reggae pun menjadi semakin identik, dan munculah sebutan baru bagi
genre musik ini: ‘Skinhead Reggae’.
Namun hal utama yang membuat Skinhead tertarik pada
Reggae tentulah iramanya yang riang dan mengajak tubuh secara alami untuk
berdansa. Kenyataanya lirik lagu tidaklah penting karena sedikit sekali
Skinhead saat itu yang mengerti bahasa ‘slang’ Jamaika yang di gunakan dalam
lagu-lagu Reggae. Buktinya adalah: Israelites-nya Desmond Dekker boleh saja
laku sebanyak 8 juta copy di seluruh dunia saat itu, tapi coba tanya apa isi
dari liriknya pada 10 orang Skinhead maka kau akan mendapatkan 10 jawaban
berbeda pula. ‘Dan itulah hal-hal yang membentuk Budaya ini, dari Gang Hard
Mods di jalanan dengan scooternya, Bootboys / Hooligans di teras sepak bola,
dan Rude boy di lantai dansa datanglah anak-anak kelas pekerja bernama
Skinhead….’
Musik Ska Jamaika memang sudah masuk ke Inggris
semenjak awal dekade 60-an dan sempat populer di pertengahan dekade tersebut.
Itu semua berkat kepiawaian para promotor musik yang memboyong artis-artis
Jamaika ke Inggris seperti Christ Blackwell pemilik Island Records. Namun hal
yang terjadi pada Ska tersebut berbeda dengan hal yang terjadi pada Reggae.
Walaupun secara teori Reggae adalah ‘bentuk baru’ dari Ska, hal tersebut
tidaklah membuat Reggae langsung populer di Inggris. Pada awal masuknya Reggae
ke daratan Inggris di tahun 1968, stasiun-stasiun radio dan media musik hampir
tak memberikan dukungan pada Reggae.
Kenyataanya bahkan mereka mengkritisi Reggae sebagai
musik yang masih mentah (Reggae kadang-kadang hanya menggunakan 2 kunci gitar
dan berdurasi 2 atau 3 menit, benar-benar kontras dengan Progresif Rock yang
rumit dan berdurasi 6 sampai 8 menit), lebih dari itu mereka menyebutnya
sebagai musik ‘yobbo (kasar dan Bodoh)’. Asosiasi Reggae dengan Skinhead pun
membuat musik ini di jauhi pasar mainstream. Akibatnya jika tak ada publikasi
dan pemberitaan di media tentu saja tak akan bisa masuk tangga lagu dan sedikit
sekali toko yang mau menjual piringan hitam artis-artis Reggae seperti Bob
Andy, Desmond Dekker dan Toots and The Maytals. Saat itu Reggae hanya di putar
di pub-pub dan club-club malam seperti Ram Jam club, Golden star club, The Ska
Bar, dll, yang sebagian besar pengunjungnya adalah para Skinhead, yang segera
mengadopsi musik ini sebagai bagian terpenting dari budaya baru mereka.
Namun seiring semakin membesar dan mewabahnya budaya
Skinhead di Inggris, maka Reggae pun semakin populer, hal inilah yang mengantarkan
lagu-lagu Reggae ke puncak tangga lagu nasional, lalu tiba-tiba saja Reggae
menjadi kesukaan semua orang, bukan hanya Skinhead saja. Perusahaan rekaman
paling terkemuka yang memproduksi dan menyalurkan rekaman piringan hitam Reggae
saat itu adalah Trojan Recods. Perusahaan ini di dirikan oleh Island Records
dan Beat and Commercial Company (B & C) di tahun 1968. Tapi kemudian Christ
Blackwell si pemilik Island records menarik diri dari kepemilikan saham Trojan
records, menyerahkan seluruh perusahaan itu pada Lee Goptal pemilik B & C
company yang tadinya adalah seorang akuntan. Saingan utama dari Trojan records
adalah Pama records dan label-label yang di subsidinya yang merupakan milik
dari Harry Palmer dan dua orang saudaranya.
Masing-masing label tersebut mepunyai artis-artisnya
sendiri-sendiri yang populer di kalangan Skinhead saat itu. Di pihak Trojan ada
artis-artis seperti: Desmond Dekker, Judge Dread, Toots and The Maytals, Harry
J allstars, The Pioneers, The Maytones, Joe white, Clancy Ecccles, Symarips dan
banyak lagi, sedangkan di pihak Pama ada: Laurel Aitken, Derrick Morgan, Pat
kelly, The Marvels, Alton Ellis, The Upsetter dan banyak lagi. Persaingan
antara kedua label ini di manfaatkan oleh produser-produser Jamaika yang tidak
jujur untuk menghasilkan uang lebih banyak, tak jarang mereka teken kontrak
dengan kedua label tersebut tanpa sepengetahuan salah satu dari mereka. Namun
persaingan ini di menangkan oleh Trojan, dengan lebih dari 40 buah label yang
di subsidinya, label itu menguasai 80 % pasar musik Reggae saat itu.
Pada akhir tahun 1969 Trojan merilis sebuah hits
Reggae yang kelak menjadi sangat legendaris dalam budaya Skinhead, yaitu
Skinhead Moonstomp oleh Symarips (alias The Pyramids). Skinhead Moonstomp ini
kemudian bahkan menjadi semacam standar bagi lagu-lagu Skinhead Reggae, padahal
irama-nya adalah jiplakan dari Moonhop-nya Derrick Morgan yang di rilis oleh
Pama. Terlepas dari hal tersebut Skinhead Moonstomp adalah lagu Reggae pertama
yang membahas Skinhead dalam liriknya, hal itu membuat Skinhead kini seakan
punya corong publikasi tersendiri, terlebih lagi hal itu membuat semakin
kuatnya hubungan emosional antara artis-artis Reggae Jamaika dengan para
Skinhead, anak kelas pekerja Inggris yang menjadi fans utamanya.
Skinhead Moonstomp kemudian di susul oleh lagu-lagu
lain yang menjadikan Skinhead sebagai objek bahasan dalam lirik, diantaranya
adalah Skinhead girl, Skinhead Jamboree ( The Symarips ), Skinhead shuffle (
The Mohawk ), Skinhead Train ( Laurel Aitken ), Skinheads don’t fear dan
Skinhead Moondust ( The Hot Rod All stars ), Skinhead Revolt ( Joe The Boss ),
Skinhead a message to you ( Desmond Riley ), Skinhead a Bash them ( Claudette
and The Corporation ), dan masih banyak lagi. Populernya Skinhead Reggae di
Inggris saat itu bahkan kemudian membuat Ska dan rocksteady kembali populer di
lantai-lantai dansa klub-klub malam. Musik favorit lainnya di kalangan Skinhead
saat itu adalah musik Soul Amerika yang lebih di kenal dengan istilah ‘Northern
Soul’ yang di rilis di bawah label Tamla Motown, Stax dan Atlantic Records.
Artis-artis-nya di antara lain adalah Martha Reeves and The Vandelas, Smokey
Robinson, Aretha Franklin, The Miracles, The Supremes, Ray Charles, dll, yang
sudah ngetop semenjak awal dekade 60-an.
Tidak seperti Reggae, Soul mendapatkan dukungan
publikasi penuh dari media, sehingga lebih populer di kalangan umum, namun
Reggae tetaplah musik nomor satu bagi para Skinhead. Bahkan di awal tahun 1970
di adakan Carribean Music Festivals yang di hadiri 9000 penonton, di susul
dengan The UK Reggae Tour yang menampilkan The Upsetter, The Pioneers, Jimmy
Cliff, Harry J Allstars, Desmond Dekker, Max Romeo, dll, yang berkeliling
Inggris selama 4 minggu. Klub-klub kenamaan di London pun secara reguler
menampilkan artis-artis Jamaika. Reggae benar-benar populer saat itu, dan fans
fanatiknya adalah Skinhead, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi
kolektor serius musik Jamaika. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi DJ
Reggae dan memulai bisnis sound systemnya sendiri.
Bahkan ada semacam peraturan tak tertulis saat itu,
yaitu semakin banyak koleksi yang di miliki seorang Skinhead maka ia akan
semakin di hormati, tak heran Skinhead saat itu menghabiskan sebagian besar
uangnya untuk membeli piringan hitam Reggae. Memasuki era 70-an budaya Skinhead
menjadi semakin besar dan semakin jauh meninggalkan ‘bapaknya’ para Mods.
Budaya ini semakin identik dengan kekerasan, seiring dengan pemberitaan di
media massa yang semakin hari semakin memojokkan mereka. Saat itu semakin
banyak anak-anak muda yang bergabung dengan budaya ini, sayangnya mereka
terpengaruh dengan reputasi Skinhead yang di bentuk oleh media, sehingga mereka
kira Skinhead hanyalah tentang kekerasan, rusuh di stadion sepak bola dan
memukuli siapapun yang tidak mereka sukai.
Kelak reputasi kekerasan ini semakin di perparah
dengan turut campurnya kekuatan politik sayap kanan yang menyusupi budaya
Skinhead. Semenjak tahun 1971 musik Reggae di Jamaika sendiri berubah seiring
dengan merebaknya paham Rastafarian (sebuah paham yang mengajarkan bahwa Ras
kulit hitam di luar Afrika harus kembali ke Afrika, Tanah yang di janjikan bagi
mereka) di negeri itu. Reggae tiba-tiba adalah tentang Zion, Jah, Babylon, dan
semua hal berbau afrika, tak ada lagi lagu-lagu tentang para Skinhead di
daratan Inggris, hal ini tentu saja seakan memutus hubungan emosional antara
Jamaika dan budaya Skinhead. Musik soul sendiri kini telah berevolusi
sedemikian rupa menjadi musik Disko, membuat Skinhead semakin kehilangan Jati
dirinya.
Kini
hanya tinggal kekerasan sajalah yang menjadi identitas budaya ini, tiba-tiba
saja kau adalah orang yang bersalah di mata masyarakat jika kau adalah seorang
Skinhead. Hal ini membuat para Skinhead yang lebih tua dan merupakan pelopor
budaya ini semakin muak dengan keadaan saat itu. Semakin kau tua maka kau
semakin dewasa dan tak mau lagi melakukan hal-hal bodoh seperti berkelahi di
jalanan tanpa tujuan yang jelas. Memasuki tahun 1972 budaya Skinhead semakin
kehilangan arahnya, tapi budaya ini tidaklah musnah atau hilang begitu saja
layaknya sebuah trend, kenyataanya budaya Skinhead terus berkembang seiring
lahirnya generasi baru budaya ini…..cerita ini pun berlanjut dengan para tokoh
yang merupakan ‘anak-anak’ dari budaya Skinhead yang bernama: Suedehead,
Smoothies, Bootboys, dan Clockwork Skinhead. Memasuki pertengahan dekade 70an
skinhead hampir sama sekali hilang di daratan Inggris. Kini masa telah
berganti, tak ada lagi anak2 muda berandalan yang menguasai jalan2 di seantero
Inggris raya, sebagian dari mereka berubah seiring betambahnya usia mereka,
sebagian melanjutkan hidup menjadi orang biasa, bekerja, menikah dan punya
anak, sebagian lagi tergilas zaman dan tertelan perkembangan subkultur lain.tak
ada lagi juga kerusuhan di teras sepak bola secara massive seperti di era 60an
dulu, tak ada lagi juga “ritual tahunan” pembantaian para hippies, rockers, dan
teds di tepi2 pantai seperti Hasting dan Brighton selama Bank Holiday. Bahkan
musik reggae pun kini semakin menjauhkan diri skinhead seiring dangan
pergerakan paham Rasatafarianisme di Jamaika.
Reggae kini telah berubah menjadi musik yang hampir2
murni kulit hitam yang membahas tentang zion, etiophia, dan semua hal berbau
afrika sehingga menghilangkan mata rantai hubungannya dengan anak2 kelas
pekerja Inggris yang rata2 berkulit hitam, sehingga lagu2 kebangsaan para
skinhead seperti skinhead moonstomp pun kini tinggal kenangan. Namun sebenarnya
skinhead tidaklah benar2 menghilang karena tetap ada skinhead yang memegang
teguh semangat 69 di hatinya, namun jumlah mereka sangatlah sedikit, bahkan di
kota2 besar seperti London dan Glasgow mencari skinhead hampir sama dengan
mencari jarum di tumpukan jerami. Ya…skinhead benar2 hampir habis tergilas
zaman. Lalu di tahun 1976 tiba2 sebuah pergerakan musik dan subkultur baru pun lahir
di Inggris.
Punk was Born and ready to kick everything down..!!!
Punk sendiri sebenarnya lahir di Amerika melalui tangan band2 seperti The New
York Dolls dan Ramones, namun Punk dalam pengertian subkultur lahir di Inggris.
Punk adalah sebuah bentuk Rock N’ Roll paling jujur, memberontak, berani,
kasar, lugas dan lantang. Musik seperti itulah yang di tunggu2 oleh anak2 muda
Inggris di yang frustasi dengan kehidupan yang monoton dan telah bosan dengan
sampah imitasi seperti Deep Purple, Black Sabbath, Led Zepelin dan si Dewa
gitar eric Clapton. Micky Fitz vokalis dari The Business di kemudian hari
mengatakan bahwa Punk adalah hal terhebat yang pernah terjadi dalam sejarah
musik rock di daratan Inggris.
Cepat, keras, lantang, dan jujur…itulah semangat Punk
yang di usung band2 punk seperti The Stranglers, The Clash dan yang paling
kontroversial…Sex Pistols. Roxy, Vortex, 100 clubs, hope and anchor adalah
nama2 club yang biasa menggelar gigs Punk. Punk tiba2 menjadi sangat massive,
mendobrak kebuntuan dan memberi alternative bagi dunia musik rock di akhir 70an
yang membosankan. Dan ketika Anarchy in The UK merajai tangga lagu di Inggris
pergerakan inipun mulai di perhitungkan oleh dunia mainstream. Namun di balik
semua pemberontakan, kekasaran, kejujuran, dan segudang reputasi berbau mitos
lainnya, Punk di era 77 bukanlah sebuah pemberontakan yang bersifat spontan dan
datang dari jalanan seperti yang tampak di permukaan.
Punk saat itu lebih seperti fashion yang di pakai
untuk bergaya di jalan2 seperti Kings Road yang di lakukan setiap akhir pekan
oleh penganut trend sesaat, dan para mahasiswa sekolah seni, bahkan ada yang
lebih buruk lagi…Punk sangatlah bersifat kelas menengah. Belilah sebuah jaket
kulit dan lengkapi dengan patches logo Anarchy yang di jahitkan oleh ibumu di
belakangnya maka kau sudah menjadi pemberontak…ha-ha- ha..benar2 sebuah
lelucon. Punk saat itu ternyata adalah The greatest Rock N’ Roll
swindle…ya..penipuan terbesar dalam musik roc n’ roll. Sex pistols pahlawan
punk dan band yang sampai saat ini di sebut2 sebagai salah satu band paling
pemberontak di muka bumi ternyata tak lebih dari sebuah band imitasi bentukan
Malcolm McLaren, seorang pengusaha kelas menengah dan pemilik butik mahal di
Kings Road bernama Sex.
Jhonny Rotten sang vokalis band ini tak lebih dari
sekedar badut yang melakukan hal2 tolol di depan umum demi mengangkat pamor
bandnya..atau si Bodoh pecandu kokain Sid Vicious yang dengan bangganya memakai
kaos bergambar swastika tanpa tahu apa arti lambang itu sebenarnya. Lalu ada The
Clash band yang di sebut2 sebagai band paling intelek di antara band2 punk era
77 ternyata tak kalah buruknya, walaupun tentunya agak sedikit lebih baik dari
pada rekannya Sex Pistols. Joe strummer sang vokalis yang penganut paham
komunisme ala Trotzky ternyata adalah anak seorang pejabat penting di
kementrian luar negeri Inggris. Joe menghabiskan masa kecil dan remajanya
tinggal di sebuah kawasan elit di London lalu kuliah di sebuah universitas
mahal dan ternama ketika ia beranjak dewasa, benar2 sebuah kontradiksi dengan
lagunya White riot yang menceritakan tentang kerusuhan di daerah pemukiman
kumuh kulit hitam yang jelas2 tak pernah di alaminya. Dengan latar belakang
para tokoh utamanya seperti yang di jelaskan di atas tak heran jika Punk
sedikit demi sedikit berakhir menjadi bagian dari dunia musik rock mainstream,
benar2 sebuah ironi..sebuah pergerakan budaya yang melabeli dirinya sebagai
kaum yang anti kemapanan ternyata kaum yang jelas2 mapan dalam pengertian
apapun.
Memasuki tahun 1978 punk semakin memantapkan dirinya
menjadi bagian dari dunia rock mainstream, band2 seperti Sex Pistols, The
Clash, The Stranglers, Siouxsie and The Banshees, dan lain2 berubah dari band
garage yang bermain di klub2 kecil menjadi band rock star. Lalu sebuah slogan
pun tersebar luas di kalangan punk saat itu: PUNK IS DEAD. Menjadi punk saat
itu lebih kepada menjadi groupies band2 seperti The clash daripada benar2
melakukan pemberontakan kepada masyarakat apalagi pemerintah yang berkuasa. Hal
yang lebih buruk adalah entah siapa yang memulai nama Punk kini telah berganti
menjadi New wave. Sniffin Glue sebuah fanzine terkemuka di scene punk saat itu
mencetak isu terakhirnya dan Jhonny Rotten mengumumkan pembubaran Sex Pistols
pada sebuah gig di San Fransisco…membuat punk semakin terseok seok memasuki
akhir decade 70an.
Namun Punk sebenarnya tidaklah seburuk itu, lebih dari
itu punk sebenarnya belumlah benar2 mati, yeah…Punk Not Dead..!!! beberapa band
tetap memainkan punk dan secara pelan tapi pasti membangun sebuah pergerakan
baru yang kelak memberi warna baru dan angin segar di scene punk yang saat itu
sudah sekarat. Band2 tersebut adalah Sham 69 dari Hersham, Cock Sparrer,
Angelic Upstart, Cockney Reject dan Menace dari London , Slaughter and The Dogs
dari Manchester dan Skrewdriver dari Blackpool. Jika punk adalah bentuk paling
lugas, kasar, lantang, dan jujur dari musik rock n’ roll maka musik yang di
mainkan oleh band2 tsb adalah bentuk yang paling lugas, kasar, lantang dan
jujur dari musik Punk yang ada saat itu, benar2 Rougher than Rough. tak ada
lirik utopis tentang anarkisme dalam musik mereka, lirik band2 ini lebih pada
kehidupan nyata yang mereka alami di jalanan, teras sepak bola, dan kehidupan
mereka sebagai anak kelas pekerja yang keras…bagi mereka semua adalah tentang
jalanan…ya..sebuah pemberontakan yang benar2 langsung dari jalanan, tanpa basa
basi dan imitasi seperti SexPistols cs.
Lalu sebuah namapun di berikan bagi mereka: “Street
Punk”. Coba saja dengar lagu2nya Cock Sparrer seperti argy bargy, where all they
now, working, riot squad, running riot, the sun says dan segudang lagu2 mereka
yang di nobatkan sebagai lagu kebangsaan kaum jalanan sepanjang masa maka
siapapun mau tak mau harus setuju bahwa steet punk benar2 berasal dan berakar
di jalanan. Cock Sparrer sendiri kelak di nobatkan sebagai The God Father of
Street punk, band ini mungkin adalah band jalanan terbaik yang pernah ada.
Steve burgess, Michael Beufoy, Colin McFaul dan Steve Bruce sebenarnya telah
membentuk band ini semenjak tahun1974 dan telah melakukan tour setahun penuh
sebelum para personil Sex Pistols di temukan oleh Malcolm McLaren, mereka
adalah band punk bahkan sebelum musik yang mereka mainkan bernama punk.
Ironisnya ketika punk mewabah tak ada satupun label
besar yang mau mengontrak mereka karena para produser menganggap musik Steve
Burgess cs sangat pasaran dan tidak menyuguhkan sesuatu yang baru, sehingga
mereka tak pernah merekam lagu2nya sampai tahun 1977. Namun siapapun yang
pernah datang dan melihat pertunjukan live mereka pastilah tahu betapa
berkualitasnya band ini, termasuk Malcolm McLaren yang pernah menawarkan diri
untuk menjadi menejer mereka, namun di tolak mentah2 oleh steve Burgess cs
karena mereka tahu seperti apa Malcolm terlebih mereka tak mau berkhir sebagai
band imitasi seperti Sex pistols. Untungnya setelah mereka menjadi band pembuka
The Small Faces dan Motorhead Decca record tertarik untuk merilis single mereka
Running riot.
Band2 seperti Cock Sparrer dan Menace memang terpaksa
menghabiskan masa2 awal karir mereka sebagai band pembuka dan pendukung band2
besar seperti Motorhead. Pada awalnya memang tak ada yang melirik band2
streetpunk, mungkin kejujuran dan kekasaran mereka terlalu menakutkan bagi
dunia rock mainstream yang munafik. Kemunculan streetpunk juga menjadi pemicu
kembalinya para anak kelas pekerja berkepala botak dgn Boots dan Bracesnya ke
jalan2 di Inggris…yeah…the bad boys called skinhead is back…!! Namun kemunculan
skinhead kali ini sangat sedikit hubungannya dengan skinhead orisinil angkatan
69. kebanyakan skinhead saat itu memulai keskinheadannya sebagai “Punk botak/
Balds punk” yang sebenarnya adalah usaha menjauhkan diri mereka sebagai anak
kelas pekerja dari anak2 punk kelas menengah, sekali lagi terbukti bahwa pada
akhirnya hidup ini selalulah tentang kelas dan strata sosial.
Namun saat itu tetap ada skinhead yang percaya dan
menjalankan nilai2 tradisional budayanya, namun bagi sebagian besar skinhead
saat itu tak ada semangat 69 dan cara berpakaian rapih, necis dan elegan
seperti skinhead orisinil di tahun 69 dulu, ya..walaupun “lahir kembali” budaya
skinhead secara umum masih terjebak dalam identitas budaya lain. Potongan
rambut masih botak seperti skinhead di tahun 69 dulu, namun kini potongannya
samakin pendek bahkan tanpa rambut sama sekali, boots juga masih di pakai dan
menjadi identitas utama seperti dulu namun kini biasanya seluruh larsnya di
tunjukan, dengan cara memotong atau menggulung jeans di atas mata kaki, tapi
lebih tinggi, biasanya setengah betis sehingga ujung celana menyentuh ujung
boots. Selain itu boots yang popular kini bukan lagi yang 8 holes atau 10
holes, tapi 12,14 bahkan 22holes.
Budaya tattoo yang memang sudah ada semenjak era 69
dulu kini menjadi semakin populer, dan kini bukan lagi di tangan seperti dulu,
tapi di wajah..tak sedikit skinhead yang mempunyai tato “made in england” di
jidatnya, hal yang mungkin akan di sesali mereka suatu saat. Tato sebenarnya
memang sebuah pilihan pribadi bagi seorang skinhead, bukan sebuah kewajiban,
tato yang tepat gambar dan penempatannya mungkin akan terlihat bagus dan smart
tapi sebaliknya akan terlihat jelek dan tidak smart jika gambar dan
penempatannya salah. Segelintir skinhead orisinil yang selamat dari masa glam
dan disco merasa tak ada hubungannya dengan para skinhead gelombang baru ini.
Di tahun1977 ketika sering terjadi perkelahian antara para Teds dan Punks di
Kings road, para skinhead orisinil biasanya membantu para teds sementara
skinhead generasi baru biasanya membantu para punks.
Para skinhead orisinil bahkan pertamanya tak tertarik
dengan streetpunk, buat mereka punk adalah bentuk baru dari rock n’ roll nya
para hippies di tahun 60an dulu, namun setelah mereka menyadari ternyata
semangat jalanan streetpunk sama dengan semangat yang mereka miliki akhirnya
mereka mengadopsi streetpunk sebagai bagian baru dari budaya mereka. Seiring
semakin di terimanya Punk di dunia mainstream, skinhead generasi baru semakin
menjauhkan dirinya dari punk dan akhirnya menemukan kembali identitasnya. Kini
mereka mengklaim diri mereka sebagai skinhead seutuhnya. Cara berpakaian
orisinil para skinhead di tahun 69 yang rapih, necis dan sebenarnya tak pernah
hilang kini kembali lagi dan menjadi populer di kalangan skinhead generasi baru
ini.
Crombies, sta-press, Ben sherman, dan sepatu brogues
kini di pakai lagi, dan di kombinasikan dengan bleach jeans dan Boots 10 atau
12 holes, potongan rambut kini kembali agak di perpanjang dan tak lagi botak
plontos seperti sebelumnya, Gaya tahun 1969 dengan aksen tahun1977, bahkan
skinhead reggae pun kembali populer dan biasanya di putar oleh para DJ di
antara gigs band2 streetpunk. Memasuki tahun 1978 skinhead dan segelintir punk
kelas pekerja yang kecewa dgn keadaan scene punk saat itu semakin
mengidentifikasikan dirinya dengan band2 seperti Cock sparrer dan Sham 69.
Pergerakan streetpunk bahkan semakin di ramaikan oleh
sebuah subkultur baru yaitu: Herbert, anak jalanan yang tertarik dgn streetpunk
namun tidak mengklaim identitas dirinya sebagai skinhead ataupun Punk,
kebanyakan dari mereka adalah preman jalanan, lengkap sudah identitas
streetpunk, dengan skinhead, punks, dan herberts streetpunk benar2 adalah
sebuah musik jalanan bagi anak jalanan. Namun sebenarnya tak ada satupun band
streetpunk saat itu yang seluruh atau salah satu personilnya adalah skinhead, walaupun
sering kali mereka manggung dengan memakai fred perry, ben sherman, stapress
ataupun boots, hal itu juga berlaku bagi Sham 69, padahal Jimmy Pursey sang
vokalis adalah seorang skinhead sebelum membentuk Sham 69. Di antara band2
streetpunk saat itu mungkin hanya Skrewdriver yang lebih memilih memakai
dandanan skinheadnya, terlepas dari kenyataan bahwa Ian Stuart cs dulunya
adalah seorang punk.
Sham 69 adalah band paling fenomenal di antara band2
street punk di saat itu, Jimmy cs adalah band street punk pertama yang
mendapatkan kontrak dari label dan menarik perhatian pers musik rock Inggris
yang sebelumnya tak menghiraukan mereka. Band ini di dirikan dan di pimpin oleh
seorang yang sangat kharismatik, cerdas, dan mempunyai kemampuan berbicara yang
luar biasa…Jimmy Pursey. Di bentuk di Hersham pada tahun 1966, band ini
mengambil namanya dari sebuah grafiti Hersham 69 yang kemudian di singkat
menjadi Sham 69.
Setelah setahun penuh menjadi band pembuka, Jimmy
memecat semua anggota asli bandnya, hal yang sangat mudah di lakukan olehnya
karena pada dasarnya Jimmy Pursey adalah Sham 69 itu sendiri. Ia kemudian
merekrut Dave Parson (gitar), Mark Cain (drums), dan Dave Tregana (bass).
Dengan personil yang hampir seluruhnya baru band ini merilis debut singlenya I
dont wanna di bawah label Small Wonder. Mungkin akan sangatlah sulit bagi
siapapun yang membaca buku ini menemukan band yang setara reputasinya dengan
Sham 69, layaknya hampir tidak mungkin menemukan orang sperti Jimmy Pursey di
dalam sejarah musik Street punk (dan Oi! Di kemudian hari). Sham 69 adalah band
pertama yang membuat para skinhead menemukan lagi harga diri, kebanggaan dan
semangat jalanan yang sempat hilang beberapa waktu sebelumnya.
Musik Sham 69 mungkin tak ada istimewanya jika di
banding band2 Glam rock seperti Slade ataupun Mott and The Hopple, namun ketika
berbicara tentang lirik…tentu adalah hal yang sangat berbeda. Coba saja
dengarkan lirik lagu mereka seperti Borstal Breakout, Angels with dirty faces,
atau If the kids are united, semua kata2nya tajam seperti pisau belati yang
menghunjam ke dada siapapun yang mendengarkannya. Di bungkus dengan musik yang
membakar semangat dan chorus ala yel yel di lapangan sepak bola membuat para
skinhead mengikuti Jimmy cs layaknya ngengat mendekati api. Datang ke gigs Sham
69 seperti datang ke pertemuan keluarga, menjadi bagian dari Sham69 itu sendiri
dalam pengertian apapun.
Tak sedikitpun Jimmy cs menunjukkan sikap “kami adalah
rockstar dan kalian adalah anak2 yang memuja kami, sehingga kami lebih superior
dari kalian”. Untuk pertama kalinya dalam sejarah musik rock orang2 yang datang
ke gig adalah sama derajatnya dengan band yang bermain di atas panggung. Dan
untuk pertama kalinya juga ada sebuah band Street punk yang mempunyai pengikut
skinhead fanatis yang rela berkelahi melawan siapapun membela Jimmy cs. Dengan
bangganya mereka menyatakan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari
Sham 69 dengan memakai patches angka 69 di dada dan jaket jeans atau
Harringtonnya, dan jika angka tersebut belum cukup mereka akan menambahkan
tulisan Sham Army di punggungnya, benar2 sebuah fanatisme yang membuat sipapun
berdecak kagum pada Jimmy cs.
Singalong adalah hal yang terlalu biasa terjadi di gig
Sham 69, tak jarang suara Jimmy hilang di telan suara koor penontannya, bahkan
lebih dari itu gig biasanya berakhir dengan stage invasion (penonton beramai
ramai naik ke panggung untuk bernyanyi bersama band). Jimmy adalah orang yang
sangat rendah hati dan ramah ketika berhadapan dengan fansnya, tak jarang pintu
dressing room di buka sehingga siapapun bisa masuk dan berbincang bincang
dengan Jimmy cs dan hal itu tetap di lakukannya bahkan ketika gig sudah
berakhir 2 jam yang lalu. Jimmy memang sangat flamboyan dalam hal berdialog dan
membangun hubungan emosional dengan fansnya terutama para skinhead, mungkin
karena dia pernah menjadi seorang skinhead. Ia benar2 percaya ia dan Sham 69
bisa merubah mereka para fans skinheadnya yang saat itu mulai di susupi
kekuatan politik sayap kanan.
Semua itu di lakukannya hanya dengan membuka mulutnya
dan keluarlah kata2 secepat dan selugas senapan mesin. Ia bahkan tak pernah
lulus SMA, namun siapapun yang pernah berbicara dengannya tahu bahwa senjata
dan aset paling berharga Jimmy adalah mulutnya, namun pada saat bersamaan
mulutnya itu jugalah masalah terbesarnya karena siapapun akan percaya pada
apapun yang di katakan Jimmy bahkan ketika ia sengaja mengatakan omong kosong
sekalipun. Ia mampu menyihir lawan bicaranya dengan argumen2 yang sangat masuk
akal, kemampuan yang bahkan tak di miliki semua politikus di dunia ini. Saat ia
berbicara hampir tak ada yang bisa menghentikannya, benar2 orang yang cerdas
dan berwibawa, sayang hal ini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri ketika ia
berbicara tentang hal2 seperti keberpihakan politik Sham 69 dan para
pengikutnya.
Jimmy mengatakan dengan tegas dan memberikan
argumentasi2 yang meyakinkan bahwa tak pernah terjadi kekerasan di gig band2
street punk seperti Cock sparrer, Menace dan tentunya Sham 69, selain itu juga
tak ada satu orangpun skinhead fasis pendukung National Front ataupun British
Movement yang datang ke gigsnya. Media dan publik percaya pada apa yang di
katakan Jimmy, namun siapapun yang datang ke gigs Sham 69 saat itu tahu pasti
bahwa Jimmy berbohong. Kembalinya skinhead yang menjadi pendukung utama band2
street punk saat itu memang cukup menjadi perhatian media terutama yang hanya
mencari sensasi demi menggenjot oplah koran dan tabloid mereka. Siapapun yang
pernah hidup di akhir dekade 60an tentu tak lupa dengan kejadian sensasional
seperti Bank holiday di Hasting atau Brighton yang membuat Skinhead di kenal
reputasi kekerasannya.
Anjing2 media itu mulai mengintai para skinhead,
memperhatikan setiap gerak geriknya, bahkan datang ke gig band2 streetpunk yang
pasti penuh sesak oleh para skinhead,punk, dan herbert. Mereka tahu cepat atau
lambat akan terjadi hal2 yang sensasional, hal yang akan membuat foto seorang
atau segerombolan skinhead sedang berkelahi atau di tangkap oleh polisi
menghiasi halaman pertama koran2 seperti The Suns ataupun Sunday miror, salah
satu bukti lagi bahwa media tak pernah dan tak akan pernah bersahabat dengan
budaya skinhead. Lalu akhirnya hal yang di tunggu2 itupun terjadi…gig Sham 69
berakhir dengan keributan besar di Redding Festival pada bulan Agustus 1978
antara sesama fans Sham 69 yang membuktikan bahwa apa yang pernah di katakan
Jimmy adalah omong kosong.
Yang di jadikan kambing hitam tentu saja para
skinhead, padahal kerusuhan terjadi tak hanya pada gig Sham 69, tapi band2 yang
hampir tidak mempunyai fans skinhead seperti UK Subs dan The Poison Girlspun
mengalami hal yang sama. Jimmy Pursey berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan
perkelahian yang terjadi, namun keadaan benar2 sudah di luar kendali. Stage
invasion kini sudah terlalu berlebihan, tak jarang setengah dari penonton naik
ke panggung sehingga sering kali gig harus berhenti karena Jimmy cs tak
mendapat tempat yang cukup untuk bermain. Selain itu gig Sham 69 kini telah
berubah menjadi arena pertumpahan darah demi membela nama kota, klub sepak bola
yang kau dukung, apa identitas budaya yang kau anut atau bahkan yang paling
konyol namun rumit…keberpihakan Politik.
Cock sparrer dan Menace pun ternyata mengalami hal
yang sama, namun layaknya Jimmy mereka tidak percaya kalau skinhead adalah
biang keributan di gig mereka seperti yang di katakan media, mereka tahu dan
paham betul tabiat kekerasan para skinhead, tapi mereka tak percaya kalau
skinhead menghancurkan gig band yang sudah mereka beli karcis masuknya. Memang
sering kali skinhead memancing keributan dan melakukan Punk bashing layaknya
Mod bashing di tahun 60an dulu, namun skalanya sangat kecil dan bisa di bilang
tidaklah lengkap sebuah gig tanpa terjadinya hal itu. Keberpihakan politik
adalah hal lain yang menjadi penyebab kerusuhan di gig Sham 69. Kebanyakan
skinhead yang menjadi fans Sham 69 saat itu adalah pendukung NF dan BM, dua
organisasi sayap kanan yang menjadikan skinhead sebagai target utama perekrutan
mereka.
Semua orang tahu kalau Sham 69 tak tertarik dengan
politik dan segala tetek bengek yang melingkupinya, dan jelas sekali kalau
Jimmy tak pernah sekalipun mengeluarkan pernyataan yang mendukung NF atau BM.
Namun Jimmy cs juga tak mau memalingkan muka dari para Sham Army yang telah
mendukung mereka dengan setia apalagi melarang mereka datang ke gig Sham 69.
jimmy lebih tertarik untuk beradu argumen dengan para pendukung NF dan BM yang
datang ke gigsnya, namun hal itu adalah hal paling sia2 yang pernah di lakukan
olehnya. Keadaan di perkeruh oleh tekanan dari Media dan organisasi sayap kiri
seperti Anti Nazi League yang menginginkan Sham 69 dan band2 street punk
lainnya bermain di gig Rock Against Racism yang mereka koordinir sebagai
pembuktian pada publik bahwa mereka bukanlah pendukung NF ataupun BM.
Tujuan ANL memang tampak bagus di permukaan, namun di
baliknya tidak sama sekali. Band2 streetpunk yang menolak untuk bermain di RAR
akan di boikot habis2an oleh ANL dan jaringan sayap kiri yang menguasai media
musik rock, radio dan perusahaan rekaman, ini membuat kita bertanya2 siapa yang
sebenarnya yang fasis. Sham 69 yang pertamanya menolak ajakan ANL akhirnya
bersedia main di RAR, bukan karena takut tapi ia berusaha menghentikan masalah
dan tekanan dari publik dan media. Sham 69 bermain di beberapa gig RAR, bahkan
Jimmy sendiri tampil bersama The Clash di ANL carnival di Hackney. Jimmy sadar
bahwa ia dan Sham 69 tak dapat merubah dunia, karena ia bukanlah politikus atau
seorang pemimpin, tapi ia precaya kalau ia bisa merubah para fansnya,
setidaknya sebgian dari mereka.
Keputusan Sham untuk bermain di gig RAR ternyata
adalah sebuah keputusan yang salah karena Sham tak hanya di peralat oleh
organisasi kiri itu untuk mencapai tujuan mereka, namun juga karena tanpa
mereka sadari mereka kini telah di cap sebagai komunis, padahal jelas2 Sham tak
pernah peduli dengan keberpihakan politik. Akibat dari di capnya sebagai band
komunis adalah semakin menggilanya aktifitas sayap kanan di gig mereka,
terutama jika mereka manggung di seputaran London yang mempunyai pendukung NF
dan BM paling banyak, hal ini tentu saja mendapat respon yang keras dari para
skinhead Anti Fasis. Yang paling menyedihkan pelaku utama dari semua aktifitas
sayap kanan di gig Sham adalah para skinhead yang di peralat oleh partai
politik untuk melakukan pertarungan politik yang seharusnya terjadi di pmilihan
umum, bukan di sebuah gig.
Oleh para fansnya yang merupakan pendukung NF atau BM
Sham kini di anggap telah berkhianat pada mereka, dan Jimmy adalah roang yang
mereka persalahkan. Semakin meningkatnya aktifitas sayap kanan di gig Sham
membuat hampir seluruh gig mereka berakhir dengan kerusuhan, bahkan bisa di
bilang tak ada tempat di Inggris yang aman buat gig mereka karena di mana ada
Sham 69 di situ ada perkelahian antara skinhead sayap kanan dan Anti Fasis.
Akibatnya tak ada promotor di Inggris yang kini berani membuatkan gig untuk
Jimmy cs, satu2nya tempat aman bagi mereka untuk manggung adalah di luar
Inggris dan Jimmy tak mau melakukannya. Hal itu berarti tak ada gigi untuk
Sham, dan apalah artinya sebuah band tanpa gig? Jadi akhirnya Jimmy cs
memutuskan untuk membubarkan band mereka. Mereka lalu menkoordinir gig selamat
tinggalnya Sham 69, gig ini di adakan di Glasgow, London dan Finland.
Gig yang di adakan di Glasgow dan Finland berakhir
dengan baik2 saja, namun gig di London yang di adakan di Rainbow Theatre
berakhir dengan kerusuhan besar. Kerusuhan di mulai dengan stage invasion yang
membuat panggung di penuhi aoleh tak kurang dari 200 orang skinhead, entah
siapa yang memulai tiba2 saja Rainbow Theatre gegap gempita oleh teriakan Sieg
heil yang di ikuti dengan salam khas Nazi. Perkelahianpun segera terjadi, dan
emosi Jimmy yang telah sekian lama di tahannya akhirnya meledak, ia mengamuk
sejadi2nya dan berteriak di microphone: Aku mencintai kalian, aku melakukan semua
hal untuk kalian, tapi yang kalian lakukan hanyalah berkelahi..!!! Namun
perkelahian tak berhenti sampai akhirnya Jimmy di tusuk punggungnya oleh
seorang skinhead yang masih dengan bangganya memakai badge Sham army di
jaketnya, akhir yang cukup tragis bagi band seperti Shm 69.
Kebencian NF dan BM kepada Sham 69 ternyata tidak
berhenti sampai di situ, bahkan setelah Sham bubarpun mereka masih tetap
menunjukkannya dengan menyebarkan isu bahwa Jimmy kini sudah menjadi seorang
kelas menengah yang kaya raya, dan Sham 69 telah sell out seperti band2 Punk 77
yang di kecamnya. Rumor mengatakan bahwa Jimmy membeli rumah elit lengkap
dengan kolam renang di dalamnya seharga 130 ribu poundsterling, tentu saja hal
ini adalah bohong adanya, namun jika benar sekalipun apa salahnya? Jika Jimmy
dan Sham 69 menjadi kaya karena penjualan album dan gig mereka, jelas saja
mereka pantas mendapatkannya karena mereka telah bekerja keras untuk itu. Pada
kenyataannya kesuksesan tidak membuat Jimmy lupa pada asalnya, sebagian uang yang
di dapatnya ia pergunakan untuk membantu kemajuan band2 streetpunk lain untuk
memulai karirnya.
Di antara sekian banyak band yang ia bantu di
antaranya adalah Angelic Upstart dan Cockney Reject, dua band streetpunk yang
kemudian tak kalah legendarisnya di dunia skinhead dengan Sham69. Angelic
Upstart dibentuk pada musim panas tahun 1977, namun kehilangan hampir seluruh
personilnya pada gig pertama mereka, namun sang vokalis Mensi Merauders
berhasil membentuk kembali Angelic Upstart. Debut single mereka murder of
liddle towers di rilis oleh Dead records dan kemudian di rilis ulang oleh Small
wonder. Band ini telah menunjukkan ke antian mereka terhadap polisi dan
pandangan politik mereka sebagai band penganut sosialisme. Murder of Liddle
towers yang menceritakan tentang terbunuhnya seorang pelatih tinju oleh polisi
tanpa proses peradilan menjadi anthem perlawanan kaum jalanan terhadap tindakan
sewenang wenang polisi.
Angelic Upstart lalu menjadi sangat di waspadai oleh
polisi yang selalu muncul di gig mereka mengawasi setiap tindakan Mensi cs, hal
ini membuat mereka di boikot di beberapa tempat. Jimmy Pursey kemudian
menawarkan Mensi cs untuk di rilis di bawah label yang sedang di bangunnya yang
bernama Wedge yang bekerja sama dengan Polydor. Angelic Upstart menerima ajakan
Jimmy, namun kerja sama mereka tak berhasil dengan baik, dan akhirnya Mensi
menanda tangani kontrak dengan Warner Bros. Layaknya Sham 69, Angelic
Upstartpun terjebak dalam perseteruan politik sayap kanan dan sayap kiri, hal
tersebut karena kedekatan mereka dengan budaya skinhead yang mulai terpecah dua
oleh pandangan politik.
Walaupun Angelic Upstart adalah band Punk, namun image
band ini sangatlah skinhead sekali, tak heran jika mereka selalu di asosiasikan
dengan skinhead, dan di asosiasikan dengan skinhead di saat itu sama artinya
denagn di cap sebagai band pendukung organisasi sayap kanan. Di tambah dengan
lagu2 mereka seperti Spandau dan England membuat mereka semakin di cap sebagai
band fasis, jelas hal itu salah besar dan di bantah habis2an oleh Mensi cs, Ia
mengatakan mereka adalah sosialis jalanan yang cinta pada negerinya. Seperti
halnya Sham 69, Mensi cs jls sangat menentang organisasi fasis seperti NF dan
BM, namun mereka tak bisa melarang para skinhead pndukung sayanp kanan datang
ke gig mereka. Pertamanya mereka mencoba untuk melakukan pendekatan moral dan
mengajak para skinhead sayap kanan itu berdialog, namun ternyata itu tidaklah
cukup.
Pihak sayap kanan mendesak agar Angelic Upstart
memilih dan menyatakan keberpihakan politiknya, dan Mensi cs pun terpaksa
memilih untuk bermain di gig RAR daripada di cap sebagai band fasis, satu lagi
band streetpunk menderita karena perseteruan politik. Lalu nasib Angelic
Upstartpun seakan sama dengan Sham 69, band ini di tekan oleh pihak2 yang hanya
ingin memanfaatkan Mensi cs demi tujuan2 politisnya. Kerusuhan terjadi di
hampir semua gig mereka dan tak jarang terjadi penyerangan terhadap mereka oleh
pendukung sayap kanan, skinhead ataupun bukan, hal ini jelas membuat mereka
frustasi. Angelic Upstart di cap sebagai band komunis, saat itu memang ada
sebuah peraturan tak tertulis yaitu jika kau bukanlah Nazi, maka kau pastilah
seorang Komunis, benar2 tidak masuk akal karena sebenarnya tak semua orang
peduli dengan pandangan politik kanan ataupun kiri.
Pengalaman buruk berupa tekanan2 dari organisasi sayap
kanan ini membuat mereka kemudian sangat gencar melakukan kampanye dan aksi2
perlawanan terhadap fasisme dan menyuarakan pandangan2 sosialisme mereka
sebagai balasan terhadap NF dan BM, sedikit demi sedikit Angelic Upstart benar2
menjadi Band sayap kiri. Band berikutnya yang di bantu oleh Jimmy Pursey adalah
Cockney Reject yang di gawangi oleh dua orang kakak beradik yaitu Micky Geggus
dan Geof Geggus yang lebih di kenal dengan nama Stinky Turner. Geggus
bersaudara ini merupakan petinju amatir yang di satukan dengan dua orang
lainnya sebagai sebuah band oleh Vince Riordan mantan roadie Sham 69. Kerja
sama mereka dengan Jimmy pursey di mulai dengan pertemuan Geggus bersaudara
dengan seorang wartawan majalah musik Sounds bernama Garry Bushell di sebuah
pub.
Micky kemudian memberikan demo tape mereka, Garry yang
tertarik dengan musik mereka lalu memberikan demo itu pada Jimmy dan
mengenalkan para opersonil Cockney Reject padanya. Jimmy lalu setuju untuk
memproduseri debut single mereka yang berjudul Flares and Slippres yang di
rilis di bawah label Small wonders. Hidup mereka yang keras sebagai anak kelas
pekerja yang hidup di kawasan ghetto East End di utara London di tambah dengan
latar belakang mereka sebagai petinju sedikit banyak mempenagruhi tingkah laku
dan music mereka. Mereka menyebut musik mereka dengan sebutan Ruck N’ Roll (we
Ruck and you roll), musik mereka yang lebih kasar namun melodius dengan lirik2
berbau Tough guy sangat menarik perhatian ex-fansnya Sham 69 dan menace, baik
Punk maupun skinhead.
Namun tingkah laku jagoan mereka membuat banyak
skinhead yang membenci mereka, tapi tak sedikit yang menjadi pengikut setia
Stinky Turner cs, terutama yang menghabiskan waktunya untuk duduk di teras
sepak bola mendukung West ham. Layaknya gig band2 streetpunk lainnya kadang di
gig Cockney Reject terjadi perkelahian, namun Stinky Turner cs dan para
pengikut fanatiknya selalu berhasil menghentikannya, ini membuat mereka sangat
di hormati di antara band2 streetpunk saat itu. Media pernah mencoba mengasosiasikan
Cockney Reject dan keributan yang terjadi di gig mereka dengan BM, namun tidak
berhasil karena keributan di gig mereka punya penyebab tersendiri yaitu
hooliganisme sepak bola.
Keempat personil Cockney Reject adalah hooligan West
ham dan selalu memastikan semua orang tahu klub sepak bola apa yang mereka
dukung. Di setiap penampilan mereka panggung selalu di latar belakangi oleh
bendera Union Jack dan Bendera West ham, mereka bahkan merilis cover version
dari lagu kebangsaan para Hammers (sebutan bagi pendukung fanatik West ham)
yang berjudul I’m Forever Blowing Bubbles sebagai perayaan mereka atas masuknya
West ham ke final pala FA. I’m Forever Blowing Bubbles kemudian di susul dengan
anthem2 spak bola mereka berikutnya seperti We are The Firm dan War On The
Terraces, yang dengan sangat berani mereka rilis di saat keributan di gig
karena hooliganisme sepak bola sudah keterlaluan. Kebanggan mereka terhadap tim
sepak bola kesayangan mereka West ham inilah yang kemudian menjadi bumerang
bagi diri mereka sendiri.
Kira2 sebulan setelah di rilisnya I’m Forever Blowing
Bubbles terjadi keributan besar antara Cockney Reject dan pengikut fanatiknya
yang tentu saja Hooligan west ham seperti mereka dengan 200 skinhead pendukung
Millwall tim sepak bola yang gank hooligan (firm) nya merupakan musuh bebuyutan
West ham Bootboys di Cedar club. Keributan berkhir dengan Micky di larikan ke
Rumah Sakit dan mendapatkan Sembilan jahitan di kepalanya, mobil van mereka di
rusak. Bukan itu saja, Micky kemudian di hokum masa percobaan selama enam bulan
dan di denda 500 pound. Setelah kejadian itu mereka berusaha menghilangkan
image kekerasan pada band mereka, namun tidak berhasil, tour mereka di musim
gugur 1980 mengalami keributan yang serius di gig2 awalnya.
Asosiasi mereka dengan West ham membuat mereka
mustahil melakukan gig di luar East End London tanpa mengalami penyerangan dari
musuh2 mereka, dan tak stupun pihak yang dapat mereka salahkan selain diri
mereka sendiri. Mungkin ini salah satu penyebab mereka kemudian beralih menjadi
band heavy metal. Namun apapun yang terjadi pada mereka band2 streetpunk
seperti Cockney Reject, Sham 69, Cock Sparrer, dan Angelic Upstart, mereka
telah menyalakan semangat baru di dunia skinhead, mereka memberi para skinhead
identitas lama mereka yang sempat memudar.. yaitu semagat jalanan. Walaupun
selalu di jadikan kambing hitam media, terjebak dalam perseteruan politik
kanan-kiri, dan segudang masalah lainnya, Streetpunk tak akan pernah mati
selama masih ada anak2 muda kelas pekerja yang ingin menyuarakan realita
kehidupan jalanan mereka yang keras.
Street punk telah membidani lahir kembalinya budaya
skinhead dengan segala aspek pemberontakannya, dan kini adalah waktunya bagi
mereka meneruskan pergerakan musik ini dengan sesuatu yang lebih mengancam dan
itu adalah musik Oi!..musik jalanan yang menyuarakan suara jalanan dan di
mainkan oleh kaum jalanan dengan Boot dan Bracesnya yang dalam perjalananya
sempat menggetarkan Inggris dan kini mendunia.
Infiltrasi Fasisme Ke Dalam Budaya Skinhead
Seperti di paparkan sebelumnya, Skinhead
sangat terkenal akan reputasi kekerasannya, baik di teras sepak bola, di
jalanan, atau di manapun Skinhead selalu di asosiasikan dengan kekerasan.
Kekerasan ini biasanya mereka lakukan terhadap musuh-musuh budaya mereka seperti
Hippies, Greasers, Teds, ataupun Hell Angels, namun yang paling menjadi
perhatian nasional adalah kekerasan Skinhead terhadap orang-orang Asia yang
hidup di Inggris, terutama imigran asal Pakistan. Hal yang lebih dikenal dengan
istilah Paki Bashing atau Paki Aggro ini sangat sering terjadi, di liput
besar-besaran oleh media dan bahkan menjadi topik utama yang di bahas antara
pemerintah Inggris dan Pakistan saat itu. Padahal kenyataannya bukan hanya
orang Pakistan saja yang menjadi korban kekerasan para Skinhead, orang India,
Bengali, dan bangsa-bangsa asal Asia lainnya pun menjadi korban dan di beri
label Paki. Bentuk kekerasan yang paling umum adalah para Skinhead memukuli
para imigran tersebut dalam setiap pertemuan mereka atau merusak toko-toko mereka,
dan berbagai tindakan vandalisme lainnnya. Seketika itu juga Skinhead di
identikkan dengan Rasisme, lagi-lagi terima kasih kepada media yang dengan
suksesnya membunuh karakter budaya ini. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah
sekedar kekerasan Rasial seperti yang di beritakan oleh media, karena pada
kenyataannya bukan hanya Skinhead kulit putih Inggris saja yang melakukan hal
tersebut, anak-anak muda keturunan Yunani, anak-anak Ras campuran, bahkan para
Skinhead berkulit hitam (Affro Boys) pun ikut terlibat dalam aksi-aksi
penyerangan terhadap orang-orang Asia.Yang membuat para Skinhead melakukan
penyerangan terhadap mereka adalah karena kebanyakan dari para Imigran ini
tidak mau berbaur dan malah menjauhkan diri dari masyarakat Inggris umumnya.
Tidak seperti para imigran asal Jamaika yang hidup berdampingan dan berbaur
dengan masyarakat Inggris, Orang-orang Asia ini hidupnya sangat eksklusif dan
terpisah dari masyarakat ‘negara baru’ mereka. Mereka mempunyai Kafe, Pub dan
Bioskop sendiri di mana para Skinhead dan orang-orang kulit putih Inggris tak
boleh masuk ke sana. Mereka tidak mau berbahasa Inggris, bersosialisasi hanya
dengan sesama mereka dan tak pernah mau menjadi bagian dari masyarakat negara
di mana mereka tinggal, jauh berbeda dengan orang-orang Jamaika yang tak
sedikit kontribusinya bagi budaya kelas pekerja Inggris, ya….budaya Skinhead.
Mereka hanya menjadikan Inggris sebagai tempat mereka bekerja dan mencari uang,
lalu mengirimnya kepada keluarga di negara asal mereka. Rasanya tak ada
penduduk negara manapun yang mau hidup berdampingan dengan para imigran tak
tahu diri seperti itu. Sikap dan tingkah laku para imigran inilah yang
menyebabkan para Skinhead marah sehingga terjadi Paki Bashing, jadi bukannya
karena warna kulit mereka. Namun apa yang di lakukan para Skinhead itu menjadi
hal yang salah ketika pihak lain (sesudah media) ikut campur dan memperkeruh
suasana, mereka adalah para Politisi penganut Fasisme…Infiltrasi Fasisme Ke Dalam Budaya Skinhead
Adalah Enoch Powell, seorang politisi ambisius dan pembangkang yang memulai catatan hitam dalam sejarah Skinhead ini. Pada April 1968 ia berpidato di depan majelis perwakilan tinggi Inggris, dan pidato yang berjudul Rivers of Blood itu membuatnya kehilangan posisinya di kabinet. Pidato tersebut berisi pengecaman dan sentimental Rasisme secara langsung terhadap para imigran kulit berwarna. Enoch mengatakan bahwa para imigran kulit berwarna dari Jamaika, Afrika dan Asia lah yang harus di salahkan atas permasalahan langkanya pekerjaan dan perumahan di Inggris saat itu. Ia menerangkan dengan berapi-api bahwa mereka adalah saingan bagi penduduk asli Inggris dalam mencari penghidupan dan perumahan, sedangkan mereka tidaklah punya hak di negeri itu. Ia menyerukan agar segera di adakan penngusiran besar-besaran terhadap para imigran asal Jamaika, Afrika dan Asia tersebut. Rivers of Blood mungkin saja membuat Enoch di kucilkan dari kancah perpolitikan Inggris, namun pidato tersebut mendapatkan sambutan hangat dari sebagian besar masyarakat Inggris terutama kelas pekerja yang merasakan langsung akibat dari membanjirnya imigran saat itu. Ia menarik simpati sepuluh ribu orang yang berdemo di depan gedung parlemen Inggris, menyatakan dukungan mereka tehadap Enoch. Dalam waktu singkat tiba-tiba saja Enoch menjadi idola baru kelas pekerja terutama di kalangan kaum mudanya, ya… Enoch adalah pahlawan bagi beberapa Skinhead saat itu dan merekalah yang mewujudkan ide-ide Enoch di jalanan. Namun saat itu mereka belumlah menjadi pendukung aktif nya Enoch, kebanyakan Skinhead saat itu tak tertarik dengan politik terorganisasi, kebanyakan bahkan belum mempunyai hak pilih, sebagian lagi lebih memilih partai buruh, partai Torries bahkan partai liberal saat pemilihan umum.
Di kucilkan dari kancah perpolitikan tidaklah membuat Enoch menyerah, dengan bermodalkan kepopuleran dirinya di kalangan sebagian besar kelas pekerja, ia mendirikan sebuah partai bernama National Front. Partai yang berlandaskan pada ideologi Ultra Nasionalisme atau Fasisme ini menjadi kendaraannya untuk menjadi oposisi pemerintahan dan mewujudkan mimpinya akan superioritas kulit putih Inggris terhadap imigran kulit berwarna. Namun secara umum tak banyak orang yang menanggapi Enoch dan NF secara serius di tahun-tahun akhir dekade 60-an, tapi pada pertengahan dekade 70-an populeritas NF mencapai puncaknya, partai ini mendapatkan 250 ribu suara dalam pemilihan lokal tahun 1977. Beberapa kalangan memprediksi bahwa NF akan menjadi kekuatan pengganti partai Liberal yang saat itu menjadi partai politik ke tiga terbesar di Inggris sesudah partai buruh dan partai konservatif. Seperti halnya partai-partai politik lainnya NF pun mengincar suara dari kaum muda, dan yang menjadi incaran mereka saat itu adalah para Skinhead. Hal tersebut karena mereka memandang Skinhead adalah kaum yang tepat untuk di jadikan pejuang-pejuang utama yang maju di garis depan memperjuangkan ide-ide politik mereka. Mereka tertarik dengan reputasi kekerasan Skinhead, di tambah latar belakang mereka sebagai kelas pekerja yang tentunya dengan mudah termakan agitasi dan propaganda NF tentang imigran kulit berwarna. Keras, militan, dan berlatar belakang kelas pekerja, ya….Skinhead adalah target yang sangat tepat untuk di jadikan sasaran perekrutan NF. Segera saja NF dengan licik merubah isu kemiskinan yang sebenarnya adalah isu klasik tentang pertentangan kelas menjadi isu kebencian rasial. Mereka melimpahkan kemiskinan yang sebenarnya terjadi sebagai akibat dari bobroknya sistem pemerintahan Margareth Tatcher kepada imigran kulit berwarna, persis seperti yang dulu di lakukuan Hitler di Jerman terhadap orang Yahudi. Keadaan pun sangat memungkinkan hal itu terjadi, era 70-an adalah era kekacauan yang merupakan akumulasi dari kesalahan yang terjadi di era-era sebelumnya, hal ini di perkuat dengan kemunculan gelombang Punk di Inggris, yang bermuara pada ketidakpuasan kaum muda terhadap keadaan saat itu. Permasalahan sosial di akhir 70-an pun lebih kompleks ketimbang di era sebelumnya, anak-anak muda saat itu frustasi dengan kenyataan hidup, mereka bingung apa yang harus di lakukan saat lulus sekolah karena lapangan pekerjaan yang semakin sempit, hal itulah yang membuat mereka manjadi lebih agresif dan merupakan sasaran empuk bagi NF. Lalu di tahun 1977 berdirilah organisasi bernama Young National Front, sebuah organisasi bawahan NF yang mengkhususkan diri untuk menampung para Skinhead yang tertarik dengan ide-ide NF. Media lagi-lagi ikut campur, mereka dengan seenaknya mengasosiasikan semua Skinhead dangan NF, tanpa menjelaskan bahwa banyak juga Skinhead yang menentang habis-habisan ide NF dan bergabung dengan Anti Nazi League, atau bahkan ada juga Skinhead yang tak mau terlibat masalah tersebut. Terlebih lagi pada kenyataaanya bukan hanya Skinhead yang menjadi simpatisan NF, Punks, Teds, Mods bahkan orang-orang biasa pun banyak yang menjadi simpatisan partai ini.
NF dan segala agitasinya semakin menggila dengan slogan-slogannya seperti ‘jika mereka berkulit hitam, kirim mereka pulang!!!’ dan menetapkan garis perjuangan baru yang lebih radikal dari sebelumnya, yaitu:
1. Negara Inggris hanyalah untuk orang Inggris, hentikan imigrasi…!!!
2. Lapangan pekerjaan di Inggris hanyalah untuk pekerja Inggris saja.
3. Hancurkan IRA (tentara rakyat Irlandia Utara yang memberontak pada kerajaan Inggris)
4. Menyerukan agar Inggris keluar dari common market (pasar bersama Inggris dan negara-negara bekas jajahannya)
5. Hentikan bantuan bagi negara-negara lain, bangun perumahan dan sarana kesehatan bagi masyarakat Inggris.
6. Hancurkan Komunisme.
Benar-benar janji dan seruan yang bermuara pada mimpi-mimpi kosong demi mencapai tujuan politik sekelompak elit di NF, mustahil hal itu terwujud jika NF berhasil menjadi partai yang bekuasa sekalipun, karena ‘pada akhirnya kelas pekerja lah yang menjadi pecundang tak peduli siapapun yang memerintah’. Semua propaganda itu di publikasikan melalui sebuah koran bernama Bulldog yang terbit setiap bulan. Dengan Enoch sebagai ketua partai, Bulldog sebagai alat propaganda, dan para Skinhead anggota YNF yang siap bertarung di jalan-jalan membela garis politik NF, partai ini menjadi ancaman baru di kancah percaturan politik Inggris. Ironisnya reputasi buruk Skinhead akan tindak kekerasan yang sejak dulu melekat justru membuat orang-orang awam berpaling dari NF, suara partai ini merosot tajam pada pemilihan umum tahun1979. Para petinggi NF sadar kalau mereka salah langkah dengan merekrut para Skinhead, Skinhead pun tiba-tiba menjadi anak tiri di partai tersebut. Ketertarikan Skinhead terhadap NF pun semakin jauh berkurang, karena terungkap bahwa banyak petinggi NF yang homosexual, (sebuah hal yang di benci Skinhead secara turun temurun karena ide kebebasan orientasi sex yang sebenarnya berasal dari ideologi para hippies, musuh budaya Skinhead). Terlebih lagi karena saat itu bermunculan organisasi yang lebih radikal daripada NF, di antaranya adalah British Movement, Anti Paki League, atau organisasi setengah militer seperti Section 88 dan National Socialist Action Party. British Movement adalah yang paling besar dari semuanya, dengan anggota mencapai 8000 orang.
BM adalah organisasi pertama yang secara terbuka mengakui kalau mereka menganut Fasisme dan ideologi nasional sosialis, ini adalah organisasi yang jauh lebih radikal daripada NF karena kebanyakan anggotanya lebih tertarik untuk aksi langsung di jalanan ketimbang ikut dalam percaturan politik.
Dengan masuknya ideologi Fasisme, nasional sosialisme, dan merebaknya sentimen anti kulit berwarna membuat Skinhead semakin jauh dari akar budayanya. Fakta sejarah membuktikan politik dalam bentuk apapun tak akan pernah memberikan keuntungan pada budaya Skinhead. Apapun alasannya tidaklah masuk akal jika seorang Skinhead menganut Nazi-isme, dan menjadi seorang Rasis. Tak mungkin seorang penganut budaya yang berasal dari budaya orang kulit hitam menjadi orang yang membenci kulit hitam dan kulit berwarna lainnya. ‘Tak akan ada yang namanya Skinhead di dunia ini tanpa campur tangan orang-orang kulit hitam’. Skinhead berhutang besar pada orang-orang seperti Laurel Aitken, Desmond Dekker, Derrick Morgan dan segudang artis kulit hitam Jamaika lainnya, merekalah yang membidani dan membentuk budaya Skinhead di masa-masa awal prerkembangan budaya ini. Benar jika di katakan seseorang bebas memilih pandangan dan afiliasi politiknya, namun hal itu tidak berlaku bagi seorang Skinhead, karena ketika kau memproklamirkan bahwa kau adalah seorang Skinhead, maka di saat yang sama kau telah memproklamirkan dirimu sebagai seorang Anti-Fasis / Rasis. ‘Setuju atau tidak setuju kau tidak bisa menjadi seorang Skinhead sejati jika kau adalah seorang Fasis, Rasis ataupun seorang Nasional Sosialis, kau tidak lebih dari sekedar orang tertolol di dunia jika kau tetap merasa menjadi seorang Skinhead tapi pada saat yang sama kau adalah seorang penganut ideologi-ideologi tersebut’. Menjadi seorang Nazi bukanlah sebuah pilihan bagi seorang Skinhead, itu adalah sebuah kesalahan besar…, pengingkaran dan penghinaan berat terhadap akar budaya yang kau anut dan kau banggakan, ingat hal itu…..!!!!
(Artikel ini hasil curian dari entah berantah...)